BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum
dalam pengertian luas meliputi tahap analisis kebutuhan, tahap desain kurikulum
sesuai dengan hasil analisis kebutuhan, tahap implementasi kurikulum esensinya
adalah proses pembelajaran, dan tahap evaluasi kurikulum yanghasilnya akan
menjadi feedback untuk tahap-tahap sebelumnya, apakah perlu perbaikan atau
penyempurnaan atau bahkan perlu adanya perubahan kurikulum.
Dalam pengertian yang
sempit, pengembangan kurikulum dapat didefinisikan sebagai perencanaan yang
sistematis berkenaan dengan apa yang akan diajarkan dan dipelajari di
sekolah-sekolah sebagaimana tercermin pada program-program studi dan
program-program sekolah. Kurikulum ini diwujudkan dalam dokumen resmi (biasanya
kurikulum dalam dimensi ini menjadi “pemandu” untuk guru). Dokumen ini dapat
dibuat pada level nasional, kemudian dijabarkan di level wilayah atau provinsi,
dan selanjutnya dijabarkan pada level institusi, bidang studi, dan terakhir
dikembangkan kembali oleh guru pada level operasional yaitu level kelas. Fokus
utama dari pengembangan kurikulum dalam dimensi sebagai dokumen adalah pada apa
yang akan diajarkan dan kapan, serta berisi seperangkat rambu-rambu berkaitan
dengan pembuatan keputusan profesional bagaimana pembelajaran dilakukan.
Pengembangan kurikulum
pada dasarnya merupakan suatu proses. Dengan mengacu pada pendekatan sistematis
terdir atas lima tahap: (1) melakukan penilaian kebutuhan, (2) menetukan
sasaran dan tujuan pendidikan, (3) mengidentifikasi sumber daya, (4)
mengembangkan strategi pendidikan dalam melaksanakan kurikulum, dan (5)
mengevaluasi da memodifikasi kurikulum. Kelima tahapan pengembangan kurikulum
tersebut pada dasarnya adalah sebuah proses interaktif yang dinamis, dimana
pengembangan satu langkah akan mempengaruhi langkah-langkah lainnya.
Pengembangan kurikulum,
sejalan dengan perkembangan pemikiran mengenai hakikat ilmu dan tekhnologi,
masyarakat dan pembangunan, aspirasi bangsa dan futurologi (abad21) telah
melahirkan berbagai pendekatan dan model dalam pengembangan kurikulum. Dalam
sejarah pengembangan kurikulum telah berkembang dalam bentuk
pendekatan-pendekatan yang berbeda. Hal ini terjadi karena perbedaan pandangan
terhadap tujuan yang hendak dicapai sehingga fokus pengembangan organisasi dan
konten kurikulum berbeda pula. Dalam hal ini syaodih (2000) mengemukakan dua
pendekatan pengembangan kurikulum. Sementara Beane,dkk. (1986) mengelompokkan
kedalam empat kelompok pendekatan dalam pengembangan kurikulum. Eiasner dan
Vallance (1974) telah mengidentifikasi minimal ada enam orientasi/pendekatan
pengembangan kurikulum. Begitupula dalam pengembangan kurikulumter(1992) dalam
bukunya berjudul Develoving the Curriculum mengemukakan berbagai model
pengembangan kurikulum. seperti uraian berikut ini.
B. Pendekatan
Pengembangan Kurikulum
Pendekatan pengembangan
kurikulum adalah cara-cara yang dapat ditempuh atau dilakukan dalam
mengembangkan kurikulum. Terkait dengan pendekatan pendekatan kurikulum adalah
cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti
langkah-langkah pengembangan yang sistematis untuk menghasilkan kurikulum yang
sesuai dengan yang diharapkan.
Sejarah pengembangan
kurikulum telah berkembang dalam bentuk pendekatan yang berbeda. Hal ini
terjadi karena perbedaan pandangan terhadap tujuan yang hendak dicapai sehingga
tekanan atau fokus pengembangan organisasi dan konten kurikulum berbeda pula.
Sebagaimana Syaodih (2000) mengemukakan dua pendapat pengembangan kurikulum,
yaitu (1) pendekatan pengembangan kurikulum berdasarkan sistem pengelolaan, dan
(2) pendekatan pengembangan kurikulum berdasarkan fokus sasaran.
1. Pendekatan
pengembangan kurikulum berdasarkan sistem pengelolaan
Dilihat dari pengelolaannya pengembangan dan
pelaksanaan kurikulumdibedakan antara sistem pengelolaan yang terpusat
(sentralisasi), dan tersebar (desentralisasi). Kurikulum pendidikan dasar dan
menengah tahun 1968 dan 1975 bersfat sentralisasi. Hanya ada satu macam
kurikulum untuk satu jenis pendidikan di seluruh Indonesia. Kurikulum ini
bersifat nasional, seragam, dikembangkan oleh tim pusat, guru-guru tetap
mempunyai peranan sebagai pengembang kurikulum, dalam penjabarannya menjadi
rencana tahunan, caturwulan dan satuan pelajaran tiap pelajaran.
Dalam kurikulum
1984 dan 1994 telah ada muatan lokal sebesar 20%, tetapi karena sistemnya masih
terpusat, model kurikulumnya seragam, dan muatan daerahnya juga masih sangat
kecil, maka kurikulum ini masih bersifat sentralisasi. Dengan adanya kebijakan
otonomi daerah, kemungkinan muatan daerah atau lokalnya akan lebih besar,
modelnya lebih beragam dan sistemnya tidak terpusat lagi,
sehinggapengelolaannya menjadi terdesentralisasi. Idealnya perimbangan muatan
nasional dengan daerah antara 30%-40% nasional dan 60%-70% daerah. Dengan bobot
muatan / lokal yang lebih besar berarti pengembangan kurikulum lebih banyak
dilakukan oleh tim pengembang kurikulum yang terdiri atas para ahli kurikulum
dan guru-guru di daerah. Isi kurikulum juga akan lebih banyak diwarnai oleh
kekayaan, perkembangan dan kebutuhan daerah. Model kurikulumnya juga kan lebih
beragam sesuai dengan tujuan, funsi dan isi program pendidikan. Pengembangan
kurikulum menjadi lebih berbasis daerah atau kewilayahan. Kurikulum demikian
ada yang menyebutnya society atau community based curriculum, adapula yang
menyebutnya school based curriculum.
2. Pendekatan
pengembangan kurikulum berdasarkan fokus sasaran
Berdasarkan fokus sasaran yang ingin dicapai,
pengembangan kurikulum dibedakan antara pendekatan yang mengutamakan penguasaan ilmu
pengetahuan, penguasaan kemampuan standar, penguasaan kompetensi, pembentukan
pribadi, dan penguasaan kemampuan standar, penguasaan kompetensi, pembentukan
pribadi, dan penguasaan kemampuan pemecahan masalah-masalah kemasyarakatan.
Maksud dari pendekatan-pendekatan tersebut, menurut syaodih (2000), diantaranya
adalah sebagai berikut.
a. Pendekatan
penguasaan ilmu pengetahuan, merupakan pendekatan pengembangan kurikulum yang
menekankan pada penguasaan peserta didik terhadap isi atau materi pelajaran.
Isi kurikulum pada dasarnya lebih difokuskan pada penguasaan aspek
kognitif ( pengetahuan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi) yang diambil dari bidang-bidang ilmu
pengetahuan.
b. Pendekatan
kompetensi, adalah pendekatan pengembangan kurikulum yang lebih menekankan pada
penguasaan sejumlah kemampuan atau kompetensi-kompetensi. Pada umunya
pendekatan pengembangan kurikulum ini dikembangkan oleh sekolah-sekolah
kejuruan (vokasional) dan perguruan
tinggi yang memfokuskan lulusannya memiliki kemampuan profesional atau keahlian
tertentu.
c. Pendekatan
pembentukan pribadi, pendekatan pengembangan kurikulum ini lebih menekankan
pada upaya-upaya pengembangan atau pembentukan aspek-aspek kepribadian secara
utuh. Maksudnya, melalui pendekatan pengembangan kurikulum ini diharapkan mampu
menumbuh kembangkan seluruh aspek kepribadian peserta didik, baik
fisik-motorik, intelektual (kognitif), sosial maupun afektif. Dengan demikian,
pada akhirnya dapat menghasilkan peserta didik yang memiliki kepribadian yang
integreted, yakni individu-individu yang sesuai dan selaras hidupnya dengan
lingkungannya atau mampu hidup dan harmoni dengan lingkungannya.
d. Pendekatan
pemecahan masalah kemasyarakatan, pendekatan pengembangan kurikulum ini pada
dasarnya lebih mengarahkan pada upaya-upaya agar peserta didik kelak mampu
menjadi anggota masyarakat yang lebih baik. Pengembangan kurikulumnya
menekankan pada pengembangan kemampuan memecahkan masalah-masalah penting dan mendesak yang ada
di masyarakat, baik masyarakat sekitar maupun lokal, nasional maupun masyarakat
global. Pendekatan pengembangan kurikulum ini banyak digunakan dalam pendidikan
luar sekolah.
e. Pendekatan
kemampuan standar, pendekatan pengembangan kurikulum ini lebih menekankan pada
penguasaan kemampuan potensi yang dimiliki peserta didik sesuai dengan
tahap-tahap perkembangannya. Pendekatan kemampuan standar, merupakan pendekatan
pengembangan kurikulum yang memfokuskan pada penguasaan kemampuan (terutama kemampuan-kemampuan
potensial) berdasarkan tahap-tahap perkembangan peserta didik. Maksudnya bahwa
pengembangan kurikulum lebih menekankan pada upaya menumbuhkembangkan potensi
yang da pada peserta didik sesuai dengan tahap-tahap perkembangan peserta
didik. Seluruh perkembangan anak perkembangan fisik, emosional, sosial, bahasa
dan intelektual. Seperti tahap perkembangan kognitif dan intelektual individu
menurut Jean Piaget, bahwa perkembangan kognitif individu meliputi tahap
senso-motorik (bayi – 2 tahun), tahap
pra-opersional (2 – 7 tahun), tahap operasional konkrit (7 – 11 tahun), dan
tahap operasional formal (11 – 15 tahun).
Pendekatan pengembangan
kurikulum, selain yang dikemukakan di atas, Beane dkk. (1986) mengelompokkan
kedalam empat kelompok. Menurut Beane,dkk. yang dimaksud dengan pendekatan
pengembangan kurikulum, digambarkan sebagai suatu pola organisasi yang
digunakan dalam pembuatan keputusan tentang berbagai aspek suatu situasi
belajar mengajar. Pendekatan dalam pengembangan kurikulum tentu saja, memiliki
cakupan yang luas. Dalam hal ini Beane dkk. mengemukakan empat kategori utama,
yaitu subject area approach; broad fields approach; problems of solving
approach, dan emergining needs of learners. Seperti akan kita lihat pemilihan
dari suatu pendekatan mencerminkan dan mempengaruhi pengaturan yang berpusat
pada situasi belajar-mengajar, pemilihan tujuan yang akan dicapai, dan isi atau
mata pelajaran yang akan dikembangkan. Empat pendekatan pengembangan kurikulum
yang dikemukakan Beane,dkk. adalah sebagai berikut:
a. Subject-area
approach
Cara
pertama untuk mengorganisir rencana kurikulum adalah berkisar pada area pokok
mata pelajaran atau disiplin ilmu pengetahuan. Contohnya, program sekolah
mungkin dibagi menjadi area bahasa, sejarah, aljabar, biologi, seni, musik, dan
sebagainya. Ketika ini dilakukan tujuan belajar meliputi penguasaan materi
pelajaran dan keterampilan yang ditentukan mata pelajaran. Materi pelajaran
digambarkan dari mata pelajaran itu sendiri. Organisasi kurikulum dengan menggunakan
pendekatan ini merupakan cara yang sangat populer. Hasil survey mengindikasi
bahwa pendekatan ini digunakan hampir 96 persen di sekolah. Pada umumnya
sekolah mengorganisir program dalam cara ini, pembagian waktu dalam setiap
harinya mengacu pada setiap mata pelajaran. Sebab pendekatan ini memandang
pentingnya belajar dalam terminologi materi pelajaran dari disiplin ilmu yang
ada, hal ini secara khusus mirip dengan penganjur filosofis realism.
b. Broad-Fields
Approach
Cara yang kedua mengorganisir kurikulum melalui
broader field atau bidang yang luas, meliputi kombinasi dari dua atau beberapa
area mata pelajaran. Contohnya suartu unit mungkin dikembangkan dalm sejarah di mana peserta didik dalam belajar
sejarah ini dikaitkan dengan periodisasi sejarah. Literatur, seni, sejarah dan
musik mungkin kombinasi dalam bentuk program humanistik. Matrikulasi suatu unit
mungkin meliputi kajian yang simultan pada matematika dan matematika itu
sendiri terdapat pada IPA. Pendekatan board-field ini dikenal dan digunakan dalam
area mata pelajaran itu sendiri, tetapi juga mencoba menunjukan pada peserta
didik keterkaitan antara berbagai disiplin ilmu. Penganjur pendekatan ini
mengutif bahwa setiap keterkaitan sebagai keuntungan daripada pendekatan mata
pelajaran. Penekanan ide yang luas dan konsep dari mata pelajaran. Penekanan
ide yang luas dan konsep dari mata pelajaran membuat populer yang mirip dengan
filosofis idealism.
c.
Social-Problem
Approach
Cara yang ketiga
dalam mengorganisir perencanaan kurikulum berkisar pada masalah-masalah utama
di masyarakat. Contoh, suatu unit mungkin dikembangkan menyangkut
masalah-masalah lingkungan, teknologi, masa depan, ketergantungan global, dan
sebagainya. Dalam pendekatan ini, tujuan
belajarmeliputi analisis masalah-masalah sosial atau isu-isu sosial, dan materi
pelajaran merupakan gambaran dari berbagai sumber yang berkaitan dengan,
masalah itu sendiri. Jika topik dari yunit “Masa Depan” peserta didik mungkin
kembali pada kajian sosial untuk informasi tentang pemerintahan atau populasi
pertumbuhan, pada kajian sosial untuk informasi tentang pemerintahan atau
populasi pertumbuhan, pada ilmu pengetahuan yang tren dalam inlmu teknoligi
atau pada seni berbahasa dengan ide mengenai komukasi. Tujuan utama
mengguunakan pendekatan ini adalah membantu peserta didik mengembangkan
kesadaran krusial mengenai isu-isu sosial dan keterampilan yang mungkin mereka
gunakan dimasa depan untuk membantu memecahkan masalahnya. Pendekatan ini
secara khusus populer diantara penganjur filosofis rekonstruktionist.
d.
Emerging-Needs Approach
Cara yang ke empat
dalam mengorganisir perencanaan kurikulum fokusnya pada kebutuhan personal dan
sosial yang muncul npada kehidupan peserta didik pada saat sekarang ini.
Sebagai contoh, unit pembelajaran mungkin difokuskan pada kajian yang berkaitan
dengan pemahaman perubahan phisik dihubungkan dengan pubertas, pengembangan
nilai-nilai probadi, dan pemahaman statusnya dalam kelompok. Dalam kasus ini
isu-isu yang dipelajari sungguh-sungguh berhubungan dengan tahap perkembangan
peserta didik. Sebagaimana dalam pendekatan social-problem, informasi mungkin
digambarkan dari berbagai area mata pelajaran, tetapi tidak ada usaha untuk
mengenali perbedaan antar disiplin ilmu. Tujuan utama pendekatan ini adalah
untuk membantu peserta didik mengatasi isu yang hadir di dalam kehidupannya
juga mempersiapkan mereka agar siap untuk menghadapinya masa kini dan masa
depan. Sementara topik atau isu-isu untuk kajiannya mungkin dipersiapkan oleh
guru, mungkin secara spontanitas muncul dari diskusi antara guru dan peserta
didik tentang masalah-masalah yang mendesak dalam kehidupan peserta didik.
Sesungguhnya pendekataan ini mendapat dukungan dari filosofis existensial dan
pragmatic.
Sejalan dengan pendekatan perkembangan kurikulum, sebagaimana telah
diungkapkan di atas Eisner dan Vallance (1974) telah mengidentifikasikan
minimal ada enam orientasi/pendekatan pengembangan kurikulum, yaitu pendekatan
rasionalisme akademik, pendekatan pengembangan proses kognitif, pendekatan
stuktur pengetahuan, pendekatan teknoligis, pendektan aktualisasi diri, dan
pendekatan relevansi rekonstruksi sosial. Disamping itu terdapat beberapa
pendekatan-pendekatan lainnya yang secara singkat pendekatan-pendekatan
tersebut akan dikemukakan berikut ini.
a.
Pendekatan
Rasionalisme Akademik
Pendektan rasional
akademik adalah pendekatan kurikulum yang paling tradisional diantara
pendekatan-pendekatan lainnya. Pendekatan ini menganut asumsi bahwa kurikulum
merupakan transmisi budaya dalam arti yang spesifik. Perkembangan intelektual
peserta didik akan terpuruk, jika mereka diberikan atau dibekali
kesempatan-kesempatan untuk mendapatkan “the
most powerful products of man’s intellegence” yang terhimpun dalam
disiplin-disiplin ilmu. Kurikulum tidak diorientasikan pada mata-mata pelajaran
yang bersifat praktis, tetapi bersifat “liberal”
yang mengutamakan latihan dan pengasahan intelek. Kurikulum harus mampu membuat
peserta didik menggunakan kaidah-kaidah berpikir yang ketat dan terkendali
dalam menguasi ilmu yang diajarkan.
b.
Pendekatan
Pengembangan Proses Kognitif
Seiring dengan
perkembangan psikologi kognitif yang telah mampu mengidentifikasi perkembangan
dan proses berfikir, pendekatan ini memusatkan pada bagaimana mengembangkan dan
menyempurnakan operasi intelektual peserta didik sehingga ia memperoleh
karakteristik nalar analitik kritis dengan dimensi-dimensi berfikir yang
terkait, termasuk kreativitas. Selain
daripada itu perhatian juga dipusatkan pada bagaimana mengembangkan
keterampilan intelektual secara mandiri yang dapat diaplikasikan dalam berbagai
situasi. Pendekatan pengembangan kurikulum ini tidak hanya menggembangkan
konten pendidikan tetapi juga pada bagaimana mengolah konten tersebut. Setiap
aktivitas mengajar berpuasat pada peserta didik dan proses yang terjadi di dalam
kelas. Dasar pikiran yang digunakan adalah peserta didik harus dilihat sebagai
unsur yang interaktif dan adaptif dalam sistem. Jika peserta didik diberi alat
intelektual yang benar, perkembangan berfikir akan berkelanjutan yang kelak
akan memampukannya untuk memilih dan menafsirkan situasi yang dihadapinya
diluar konteks pesekolahan.
c.
Pendekatan
Struktur Pengetahuan
Brunner (dalam A.A.
Bellack, 1977) menyatakan bahwa penekanan yang benar dalam pengajaran adalah
membuka wawasan peserta didik akan struktur pengetahuan (structure of knowledge). Peranan pengetahuan adalah meletakan
peranan pada urutan logis yang ada pada pengetahuan itu sendiri, struktur
konsep-konsep dan prinsip-prinsip inkuiri yang mewataki berbagai lapangan
belajar. Peserta didik harus memahami yang fundamental, konsep-konsep dasar dan
mampu menggunakan cara-cara para ahli dalam menganalisis dan menata data.
Materi yang diajarkan (informasi, fakta, konsep, prinsip) diorganisasi dalam
pola hubungan dengan materi yang mungkin diluar di luar dirinya tetapi masih
dalam kurikulum keseluruhan. Yang menjadi permasalahan dalam menggunakan
pendekatan ini ialah menemukan keterhubungan jenis-jenis materi yang esensial,
karena keesensialan ini mempunyai daya transfer dan daya untuk memahami
pengetahuan baru.
d.
Pendekatan
Teknologis
Pendekatan ini
menekankan pada teknologi bagaimana ilmu pengetahuan itu ditransfer dan
bagaimana memberi kemudahan-kemudahan dalam belajar. Sebagai pendekatan proses,
pendekatan teknologis ini tidak menekankan pada proses “tahu” dan belajar
sebagaimana pendekatan kognitif. Pendekatan teknologi dalam pengembangan
kurikulum bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan
tugas-tugas tertentu. Materi yang diajarkan, kriteria evaluasi keberhasilan,
dan strategi belajarnya ditetapkan sesuai dengan analisis tugas (job analisys)
tersebut. Kurikulum berbasis kompetensi yang sedang digalakkan di sekolah
termasuk dalam kategori pendekatan teknologis.
e.
Pendekatan
Aktualisasi Diri
Kurikulum adalah
alat untuk memperoleh pengalaman yang
terbaik dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologik secara keseluruhan.
Sebagai alat, kurikulum harus mempunyai daya pembebas untuk pembentukan
integritas personal peserta didik. Dilihat dari sudut konten, kurikulum adalah
tujuan itu sendiri, tahapan dari proses kehidupan dan alat untuk penemuan diri
(discovery).
f.
Pendekatan
Relevansi-Rekonstruksi Sosial
Dua cabang
pendekatan muncul. Pertama, pendekatan reformasi yang mendudukkan pendidikan
sebagai alat yang memampukan individu berperan sebagai reformis sosial dan
bertanggung jawab terhadap masa depan yang penuh dengan tantangan perubahan.
Kedua, pendekatan yang berasumsi bahwa pendidikan adalah alat untuk memampukan
individu dalam perubahan sosial itu sendiri dan mampu melakukan intervensi
secara aktif membangun perubahan-perubahan. Menurut faham ini, kurikulum harus
mencerminkan hubungan-hubungan permasalahan sosial masa kini dan masa depan
dengan perkembangan peserta didik yang sesuai. Perkembangan, perubahan sosial
dan pengaruh timbal balik terhadap kualitas mentalitas dan kualifikasi diri
peserta didik harus dijadikan dasar pemikiran dalam pengembangan kurikulum.
Melihat keragaman dalam pendekatan
pengembangan kurikulum, menurut Beane sering kali para pendidik mengajukan
pertanyaan apakah pendekatan yang satu lebih baik dari pada yang lainnya. Pada
dasarnya setiap pendekatan lebih menekankan pada aspek-aspek tertentu. Oleh
karena itu, isu yang sesungguhnya dalam mempertimbangkan pendekatan kurikulum
tidak berarti yang satu lebih baik, tetapi bagaimana semuanya itu dapat
digunakan di sekolah. Dengan menunjukan isu dalam cara ini, para pendidik akan
dihadapkan pada pertanyaan bagaimana memberikan keseimbangan dalam pengembangan
kurikulum.
C.
Model-Model
Pengembangan Kurikulum
Model pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai suatu cara dalam
menunjukan hubungan antara komponen-komponen utama kurikulum. Komponen utama
kurikulum yang dimaksudkan adalah tujuan, isi, proses dan evaluasi. Dalam
mengembangkan kurikulum terdapat berbagai model yang dikemukakan oleh para ahli
kurikulum atau pendidikan, seperti Oliva
(1992) dalam bukunya yang berjudul Develoving
the Curriculum mengemukakan beberapa model perkembangan kurikulum, seperti
model Taba, model Saylor, Alexander, dan Lewis, model Tyler, dan model Aliva.
Sementara Miller and Seller (1985) dalam bukunya yang berjudul Curriculum Perspectives and Pratice
mengemukakan beberapa model pengembangan kurikulum, seperti model Gagne, model
Tyler, model Taba, model Robinson, model Weishtein dan Fantini, serta model
Miller – Seller. Sedangkan Robert S. Zais (1976) dalam bukunya yang berjudul Curriculum Principls and Foundations
mengemukakan delapan model pengembangan kurikulum.
Dari sekian banyak model
pengembangan kurikulum, pada umumnya diberi nama sesuai dengan nama pembuat
model itu sendiri. Disamping itu, terdapat pula pemberian nama model yang lebih
mengacu pada prosedur pengembangan kurikulum itu sendiri. Di bawah ini
dikemukakan beberapa model pengembangan kurikulum, diantaranya adalah sebagai
berikut.
1. Model Tyler
Model Tyler
menekankan pada bagaimana merancang suatu kurikulum disesuaikan dengan tujuan
dan misi suatu institusi pendidikan. Menurut Tyle ada empat pertanyaanyang
dianggap fundamental untuk mengembangkan kurikulum. Pertama, tujuan pendidikan
apa yang ingin dicapai? Kedua, pengalaman pendidikan apa yang dapat diberikan
yang memungkinkan dapat untuk tercapai tujuan? Ketiga, bagaimana pengalaman
pendidikan dapat diorganisir secara efektif? Keempat, bagaimana menetapkan atau
mengetahui bahwa tujuan telah dicapai? Secara rinci keempat pertanyaan
tersebut, dikemukakan berikut ini.
a.
Tujuan
pendidikan apa yang ingin dicapai ?
Dalam pengembangan kurikulum
kegiatan merumuskan tujuan merupakan langkah pertama dan utama yang harus
dikerjakana, sebab tujuan merupakan arah atau sasaran pendidikan. Dalam hal
ini, Tyler mengajukan tiga sumber yang dapat digunakan untuk mengindentifikasi
tujuan pengembangan kurikulum, yaitu peserta didik, masyarakat, dan mata
pelajaran. Peserta didik sebagai sumber dalam merumuskan tujuan. Langkah awal
para pengembang kurikulum dalam merumuskan tujuan pendidikan, adalah
mengumpulkan dan menganalisis data yang relevan berkaitan dengan kebutuhan dan
minat peserta didik. Hal ini dapat dilakukan melalui observasi, wawancara, tes,
dan mengajukan pertanyaan. Masyarakat sebagai sumber untuk merumuskan tujuan pendidikan. Pada
langkah kedua ini adalah mengadaka kajian terhadap kehidupan masyarakat saat
kini baik kehidupan masyarakat local, nacional, maupun global atau kehidupan
masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini, para pengembang kurikulum dapat
mengklasifikasikan kehidupan masyarakat dalam berbagai kategori, seperti
dilihat dari kehidupan beragama, pekerjaan, kesehatan, keluarga, rekreasi,
tingkat konsumtif, dan peran kewarganegaraan. Dari kajian terhadap kebutuhan
masyarakat tersebut selanjutnya dibuat daftar tujuan yang relevan untuk setiap
area kebutuhan masyarakattersebut. Mata pelajaran sebagai sumber untuk
merumuskan tujuan pendidikan. Pada langkah ketiga dalam hal ini, para
pengembang kurikulum memperluas daftar tujuan pendidikan dengan menilai
berbagai mata pelajaran yang akan diajarkan dan kemudian membuat daftar tujuan
yang diperoleh dari isi dan keterampilan yang berhubungan dengan mata pelajaran
tersebut. Setelah para pengembang kurikulum menyusun daftar tujuan pendidikan
yang berasal dari tiga sumber tersebut, langkah selanjutnya adalah menyaring tujuan
tersebut yang dianggap paling penting dikaitkan dengan faktor filosofis dan
psikologis.
b.
Pengalaman
pendidikan apa yang memungkinkan dapat
mencapai tujuan ?
Setelah tujuan ditetapkan, langkah
selanjutnya adalah menentukan pengalaman
belajar yang dibutuhkan peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Tyler mendefinisikan pengalaman belajar sebagai “interaction
between the learner and the external conditions in the environment to which he
can react”. Pengalaman belajar (learning experience) adalah aktifitas peserta didik dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Dalam pengembangan pengalaman belajar ini,
disarankan menggunakan empat kategori umum, yakni : pengembangan keterampilan
berfikir, pemerolehan informasi, pengembangan sikap sosial, dan pengembangan
minat peserta didik. Pengalaman belajar mengacu pada aktivitas peserta didik di
dalam proses pembelajaran. Ada beberapa prinsip dalam menentukan pengalaman
belajar peserta didik pertama, pengalaman belajar peserta didik harus
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Kedua, setiap pengalaman
belajar harus memuaskan peserta didik. Ketiga, setiap rancangan
pengalaman belajar dapat mencapai beberapa tujuan yang berbeda.
c.
Bagaimana pengalaman pendidikan dapat
diorganisir secara efektif ?
Mengorganisasikan pengalaman belajar
peserta didik pada umumnya dapat dalam bentuk unit mata pelajaran ataupun dalam
bentuk program. Ada dua jenis pengorganisasian pengalaman belajar, yaitu
pengorganisasian secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal apabila
menghubungkanpengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam tingkat/kelas
yang berbeda. Secara horizontal jika menghubungkan pengalaman belajar dalam
tingkat/kelas yang sama ada kriteria dalam mengorganisasi pengalaman belajar
ini yaitu : berkesinambungan, urutan, isi, dan integrasi. Prinsip pertama,
artinya pengalaman belajar yang diberikan harus memiliki kesinambungan dan
diperlukan untuk mengembangkan pengalaman belajar selanjutnya. Prinsip kedua,
erat hubungan dengan kontunuitas, perbedaan dengan prinsip kedua terletak pada
tingkat kesulitan dan keluasan bahasan, artinya setiap pengalaman belajar yang
diberikan kepada peserta didik harus memperhatikan tingkat perkembangan peserta
didik. Prinsip ketiga, menghendaki bahwa suatu pengalaman yang diberikan pada
peserta didik harus memiliki fungsi dan bermanfaat untuk memperoleh pengalaman
belajar dalam bidang lain.
d.
Bagaimana
menetapkan atau mengetahui bahwa tujuan telah dicapai ?
Evaluasi memegang peranan yang
sangat penting dalam pengembangan kurikulum, karena dengan evaluasi dapat
ditentukan kurikulum yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai oleh sekolah atau sebaliknya. Ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan evaluasi. Pertama, harus menilai ketercapaian perubahan tingkah
laku peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan. Kedua, evaluasi sebaiknya
menggunakan lebih dari satu alat penilaian dalam suatu waktu tertentu. Evaluasi
pengembangan kurikulum memiliki dua fungsi yaitu, sumatif dan formatif. Fungsi
sumatif berkaitan dengan pengumpulan data tentang ketercapaian tujuan oleh
peserta didik. Fungsi formatif berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi untuk
melihat efektivitas proses pembelajaran. Untuk lebih jelasnya, pengembangan
kurikulum model Tyler ini, dapat dilihat pada gambar berikut ini.
|
|
|
|

|
|
|
![]() |
Pengembangan Kurikulum Model
Tyler (oliva, 1992)
2.
Model Taba
Model Hilda Taba (1962) lebih
menitikberatkan pada bagaimana mengembangkan kurikulum sebagai suatu proses
perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Hilda Taba menganjurkan gagasan perlunya
pendekatan induktif untuk mengembangkan kurikulum. Guru harus mampu
mengembangkan kurikulum sendiri. Dengan kata lain, kurikulum tidak perlu datang
dari atas karena proses pengembangan kurikulum sebagai urutan logis dari
sejumlah langkah yang disebutnya sebagai langkah inquiri dan perencanaan
kurikulum. Taba (Oliva,1992) mengembangkan lima tahap urutan dalam memenuhi
perubahan kurikulum. Kelima tahap yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a.
Menghasilkan
unit-unit percobaan (pilot unit) melalui langkah-langkah berikut.
1)
Diagnosis
kebutuhan ; pengembangan kurikulum dimulai dengan menentukan kebutuhan peserta
didik, hal ini berkaitan dengan untuk siapa kurikulum dirancang. Taba
mengarahkan para pengembang kurikulum untuk mendiagnose gap defisiensi dan
variasi latar belakang peserta didik.
2)
Merumuskan
tujuan khusus; setelah mendiagnose kebutuhan peserta didik, langkah selanjutnya
merencanakan tujuan khusus yang ingin dicapai.
3)
Memilih isi
pelajaran; mata pelajaran atau topik yang menjadi kajian bersumber langsung
dari tujuan yang ingin dicapai. Taba menganjurkan bahwa yang harus
dipertimbangkan dalam pemilihan isi ini tidak hanya sasaran hasil, tetapi juga
arti dan kebenaran, tentang isi yang dipilih.
4)
Mengorganisasi
isi pelajaran; setelah pemilihan isi tugas selanjutnya memutuskan pada
tingkatan apa dan didalam urutan apa pokok materi akan ditempatkan. Kedewasaan
peserta didik, kesiap-siagaan mereka untuk menghadapi perihal pokok materi, dan
tingkatan prestasi akademis mereka adalah merupakan faktor untuk
dipertimbangkan didalam penempatan isi yang sesuai.
5)
Mengorganisasi
pengalaman belajar; metodologi atau strategi dimana peserta didik dilibatkan
dengan konten harus dipilih oleh pengembang kurikulum. internalisasi konten dan
aktivitas belajar peserta didik dipilih oleh guru sebagai pengembang kurikulum
dilapangan.
6)
Mengorganisasi
pengalaman belajar; guru menetapkan bagaimana mengemas aktivitas belajar dan
dalam urutan serta kombinasi yang akan digunakan. Pada langkah ini guru
menyesuaikan strategi bagi para peserta didik tertentu yang merupakan tanggung
jawabnya.
7)
Menetapkan apa
yang dievaluasi dan alat apa yang akan digunakannya; dalam hal ini guru harus
memutuskan tujuan apa yang telah terpenuhi. Guru harus memilih dari berbagai
tehnik yang paling sesuai untuk menaksir prestasi para peserta didik dan untuk
mentukan apakah tujuan dari kurikulum telah dicapai.
8)
Menguji urutan
dan keseimbangan isi kurikulum; Taba menasihati para pengembang kurikulum untuk
mencari konsistensi diantara berbagai komponen dari keseluruhan
pembelajaaran, disesuaikan dengan
pengalaman belajar, tipe belajar dan
bentuk ungkapan.
b.
Menguji coba
unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka menentukan validasi dan
kelayakan penggunaannya. Maksudnya, apa yang telah direncanakan langkah
selanjutnya adalah melakukan uji coba dalam konteks pembelajaran,
yang kemudian selama proses uji coba tersebut di obsevasi dan di evaluasi
sehingga ditemukan aspek-aspek yang masih harus dikembangkan atau diperbaiki.
c. Merevisi
dan mensosialisasikan unit-unit eksperimen berdasarkan data yang diperoleh
dalam uji coba. Maksudnya, apabila terdapat aspek yang masih belum sesuai
dengan harapan pada tahap uji coba, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
revisi atau perbaikan, dan hasil revisi ini menjadi bahan untuk sosialisasi
terhadap yang berkepentingan terutama pada para pengembang kurikulum.
d. Mengembangkan
keseluruhan kerangka kurikulum. Sejalan dengan hasil revisi maka langkah
selanjutnya melakukan uji validasi sehingga pada akhirnya menghasilkan bentuk
final dalam keseluruhan kerangka kurikulum baik tujuan, isi, proses maupun
evaluasi.
e. Implementasi
dan diseminasi kurikulum yang telah teruji. Pada tahap ini, model final
kurikulum yang telah melalui proses uji validasi ini disesiminasikan atau
disebarluaskan kepada khalayak terutama kepada para pengembangan kurikulum atau
kepada pihak-pihak terkait.
3. Model
Olivia
Menurut Olivia suatu model kurikulum harus bersifat
sederhana, komprehensif dan sistematik. Langkah yang dikembangkan dalam
kurikulum model ini terdiri atas 12 komponen yang satu sama lain saling
berkaitan. Kedua belas langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a.
Menetapkan dasar filsafat yang digunakan
dan pandangan tentang hakikat belajar dengan mempertimbangkan hasil analisis
kebutuhan umum peserta didik dan kebutuhan umum masyarakat.
b.
Menganalisis kebutuhan masyarakat tempat
sekolah itu berada, kebutuhan khusus peserta didik dan urgensi dari disiplin
ilmu yang harus diajarkan.
c.
Merumuskan tujuan kurikulum yang
didasarkan kepada kebutuhan seperti yang tercantum pada langkah sebelumnya.
d.
Merumuskan tujuan khusus kurikulum yang
merupakan penjabaran daru tujuan umum kurikulum.
e.
Mengorganisasikan rancangan implementasi
kurikulum.
f.
Menjabarkan kurikulum dalam bentuk
perumusan, tujuan umum pembelajaran.
g.
Merumuskan tujuan khusus pembelajaran.
h.
Menciptakan dan menyeleksi strategi
pembelajaran yang memungkinkan dapat mencapai tujuan pembelajaran.
i.
Menyeleksi dan menyempurnakan tekhnik
penilaian yang akan digunakan.
j.
Mengimplementasikan strategi
pembelajaran.
k.
Mengevaluasi pembelajaran.
l.
Mengevaluasi kurikulum
Menurut Olivia, model yang dikembangkan ini dapat
digunakan dalam tiga dimensi. Pertama dapat digunakan dalam penyempurnaan
kurikulum sekolah dalam bidang-bidang khusus. Kedua, untuk membuat keputusan
dalam merancang suatu program kurikulum. Ketiga, untuk mengembangkan program
pembelajaran secara lebih khusus.
4.
Model Miller-Seller
Dalam model kurikulum yang dikembangkan
Miller-Seller, didalamya terdapat lima komponen, yakni: orientasi, tujuan,
model-model pengajaran, penerapan, dan evaluasi. Kelima komponen kurikulum
tersebut dapat digambarkan seperti berikut ini.
Model
Pengembangan Miller-Seller
Maksud dari kelima langkah pengembangan kurikulum
model ini adalah sebagai berikut:
a.
Orientasi, ini mencerminkan suatu
pandangan filsafat, psikologis, dan teori belajar, serta pandangan tentang
masyarakat.
b.
Tujuan, mengklasifikasikan tujuan kurikulum,
yakni: tujuan umum (aims), tujuan pengembangan (goals), dan tujuan pembelajaran
(objective).
c.
Model-model pengajaran, ini berkaitan
dengan pengalaman belajar. Pada tahap ini, pengembangan kurikulum harus
mengindentifikasikan pengalaman belajar dan strategi mengajar. Model pengajaran
yang dipilih juga harus mengikuti posisi kurikulum. Dalam hal ini, pengembangan
kurikulum dapat mengadopsi model-model mengajar yang dikemukakan oleh joyce and
Weil (1980).
d.
Penerapan, tahap ini dibutuhkan
penyesuaian kurikulum agar praktik, bahan, dan konsep baru yang menyatu dengan
kebiasaan guru. Tahap ini meliputi: komponen kajian program, identifikasi,
sumber, peran, pengembangan profesional, penjadwalan, sistem komunikasi, dan
pemantauan pelaksanaan;
e.
Evaluasi, prosedur evaluasi ini
mencerminkan salah satu orientasi kurikulum.
5.
Modal Gagne
Gagne menganjurkan suatu pendekatan sistem untuk
mendesain pembelajaran yang didasarkan pada pemikiran logis, sistematis,
tes-empiris, dean penemuan fakta. Menurutnya, manfaat utama pendekatan sistem,
di antaranya ialah dapat memberikan dasar akuntabilitas sistem, model rancangan
pembelajaran Gane terdiri dari 12 langkah, yaitu sebagai berikut:
a. Analisis
kebutuhan;
b. Analisis
tujuan umum dan tujuan khusus;
c. Analisis
cara alternatif yang sesuai dengan kebutuhan;
d. Merancang
komponen-komponen kebutuhan;
e. Analisis
sumber dan kendala;
f. Kegiatan
mengatasi kendala;
g. Memilih
atau mengembangkan bahan;
h. Merancang
kebutuhan kinerja peserta didik;
i. Melakukan
tes dan evaluasi formatif;
j. Melakukan
penyesuaian, refisi, dan evaluasi berikutnya;
k. Sistem
evaluasi sumatif, dan
l. Pelaksanaan.
6.
Model Robinson
Model pengembangan kurikulum ini terkait dengan
model inkuri dan pemecahan masalah, sebagaimana dikemukakan Robinson dkk. Bahwa
rancangan kurikulumnya ditekankan untuk menjamin bahwa program inkuiri dapat
dengan mudah dipadukan pada kurikulum sekolah. Pendekatan ini dimulai dengan
tugas-tugas spesifik, yang dikenal dengan tugas permukaan (surface tasks).
Tugas tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan
pernyataan tujuan umum;
b. Mengembangkan
perangkat tujuan yang dapat dipertahankan;
c. Mengembangkan
deskripsi pertumbuhan;
d. Mengembangkan
tujuan khusus pembelajaran;
e. Mengurutkan
tujuan;
f. Menyusun
skema pertumbuhan yang terkait dengan metode=metode pembelajaran dan penilaian;
g. Mengembangkan
bahan-bahan kurikulum tertulis.
7.
Metode
Weimtein dan fantini
Weinstein dan fatini (1970) mengembangkan suatu
model yang disebut dengan pendidikan identitas (identity education). Fokus dari
model ini adalah untuk memastikan dan mendiagnosa perhatian peserta didik
sehingga dapat disusun pelajaran berkisar pada perhatian tersebut. Model
pengembangan kurikulum model weinstein dan fantini ini dapat dilihat pada
diagram berikut ini.
Pengembangan kurikulum model Fantini – Weinstein ini
terdiri atas delapan langkah, yang masing-masing langkah, adalah sebagai
berikut ini:
a. dilakukan
identitas terhadap peserta didik (penilaian terhadap karakteristik peserta
didik yang dipengaruhi oleh faktor individual, sosial-ekonomi, geografis, dan
sebagainya);
b. dilakukan
penetapan perhatian sekaligus mengdiagnosa alasan yang mendasarinya.
c. Peserta
didik diberi kesempatan untuk mencapai hasil yang diinginkan;
d. Pengembangan
tema untuk mengorganisasi pelajaran;
e. Guru
memilih wahana isi (pelajaran) untuk mencapai hasil yang diinginkan;
f. Dikembangkan
strategi mengajar yang sesuai dengan keterampilan belajar, wahana isi,
organisasi ide, dan hasil;
g. Guru
berusaha untuk mengevaluasi efek kurikulum.
8.
Model Zais
Pengembangan kurikulum model Robert S. Zais pada
umumnya lebih menekankan pada siapa yang memiliki inisiatif dalam pengembangan
kurikulum, apakah pihak pusat yang memiliki kewenangan untuk mengembangkan
kurikulum atau pihak lapangan yang memilki inisiatif dalam mengembangkan
kurikulum tersebut. Dalam hal ini, Zais mengemukakan tiga model pengembangan
kurikulum sesuai dengan inisiatif yang muncul, yaitu model administrative,
model grass root, dan model demonstrative. Ketiga model tersebut dikemukakan
berikut ini :
a. Model
administratif
Model
ini merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Model ini di beri
nama model administratif atau line staff atau disebut pula model top- down.
Istilah ini sejalan dengan adanya inisiatif atau gagasan pengembangan kurikulum
datang dari para administrator pendidikan misalnya dari menteri pendidikan atau
pejabat yang mempunyai wewenang dalam pengembangan kurikulum. Maksudnya
kegiatan pengembangan kurikulum dimulai dari adanya inisiatif para pejabat
pendidikan yang berwenang membuat keputusan dan kebijakan berkaitan dengan pengembangan
kurikulum, dan tim ini sekaligus sebagai tim pengarah dalam pengembangan
kurikulum.
Model
pengembangan kurikulum ini, pada umumnya menghasilkan suatu kebijakan yang
secara birokrasi pihak pusat mengharuskan kebijakannya ditindak lanjuti secara seragam oleh seluruh sekola. Hal ini
terkenal dengan system pemerintahan yang bersifat sentralistik. Tim
pengembangan kurikulum ini membentuk panitia yang tugasnya merencanakan,
menyiapkan rumusan falsafah dan tujuan umum pendidikan. Setelah kegiatan tersebut
selesai, panitia pengarah membentuk kelompok kerja sesuai keperlua. Para
anggotanya biasanya adalah staf pengajaran dan spesialis kurikulum. Kelompok
ini bertugas untuk menyusun tujuan-tujuan khusus pendidikan, garis besar bahan
pengajaran, dan kegiatan belajar. Hasil kerja kelompok tersebut direvisi oleh
panitia pengara, menguji coba kemudian memutuskan pelaksanaanya. Setelah
mendapatkan beberapa penyempurnaan dan nilai telah cukup baik,administrator
pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari
atas, maka model ini juga disebut model Top-Down. Dalam pelaksaannya,
diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah beralan beberapa saat
perlu dilakukan evaluasi.
Dalam
melaksanakan kurikilum yang dikembangkan oleh model ini, pada tahun-tahun
permulaan diperlukan adanya kegiatan monitoring, pengamatan dan pengawasan
serta bimbingan dalam melaksanakannya. Setelah berjalan beberapa saat perlu
juga dilakukan evaluas. Hasil evaluasi tersebut merupakan umpan balik, baik instansi
pendidikan di tingkat pusat, daerah, maupun sekolah.
b. Model
Grass Roots (akar rumput)
Model ini merupakan lawan dari model yang
administratif, karena inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum bukan datang
dari atas tetapi dari bawah, yaitu dari para pengembang kurikulum yang ada di
lapangan seperti guru-guru atau sekolah. Model ini akan berkembang dalam sistem
pendidikan yang bersifat desentralisasi. Pengembangan kurikulum model grass
roots ini, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah
tertentu, tetapi mungkin pula dikembangkan dalam satu bidang studi pada
sekolah-sekolah yang ada di suatu daerah.
Pengembangan kurikulum model ini, kemungkinan
terjadi atas adanya masalah-masalah yang dirasakan yang dirasakan oleh para
pengembang kurikulum di lapangan sehingga mereka mempunyai inisiatif untuk
menyempurnakan atau memperbaiki kurikulum yang sedang dikembangkannya. Dalam
prosesnya, sangat memungkinkan melibatkan berbagai pihak seperti pihak
profesional, orang tua peserta didik, dan masyarakat. Dalam pengembangan
kurikulum model grass roots ini, harus memperhatikan beberapa hal diantaranya
guru harus memiliki kemampuan professional, harus terlibat penuh dalam
perbaikan kurikulum, penyelesaian permasalahan kurikulum, harus terlibat langsung
dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan dan penentuan evaluasi, dan sebaiknya
dilakukan dalam kelompok agar menghasilkan consensus tujuan, prinsip maupun
rencana-rencana perbaikannya.
c. Model
Demonstrasi
Penembangan kurikulum model ini pada dasarnya datang
dari bawah (grass roots), yang merupakan suatu upaya inovasi kurikulum dalam
skala kecil yang selanjutnya digunakan dalam skala yang lebih luas.
Pengembangan kurikulum model ini, ada dua variasi model. Pertama, merupakan
suatu proyek di mana sekelompok Guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah
ditunjuk untuk melaksanakan suatu percobaan atau uji coba suatu gagasan baru
yang bersifat inovatif dalam pengembangan kurikulum.
Proyek ini bertujuan untuk mengadakan penelitian dan
pengembangan tentang salah satu atau beberapa segi/komponen kurikulum. Hasilnya
diharapkan dapat digunakan bagi lingkungan yang lebih luas. Biasanya
diprakarsai dan diorganisasi oleh instansi pendidikan yang berwenang. Kedua,
pengembangan kurikulum yang bersifat penelitian dan pengembangan yang dilakukan
oleh seseorang atau sekelompok atas dasar inisiatif sendiri.
Ada beberapa kebaikan dari pengembangan kurikulum
dengan model ini. Pertama, karena kurikulum disusun dan dilaksanakan dalam
situasi tertentu yang nyata, maka akan dihasilkan aspek tertentu dari kurikulum
yang lebih praktis. Kedua, perubahan kurikulum dalam skala kecil atau aspek
tertentu yang khusus. Ketiga, pengembangan kurikulum dalam skala kecil dengan
model demonstrasi dapat menembus hambatan yang sering dialami yang
dokumentasinya bagus tetapi pelaksanaannya tidak ada. Keempat, model ini
sifatnya grass roots menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan narasumer
yang dapat menjadi pendorong bagi para administrator untuk mengembangkan
program baru. Kelemahan model ini, adalah bagi guru-guru yang tidak turut
berpartisipasi mereka akan menerima dengan enggan-enggan, dalam keadaan
terburuk mungkin akan terjadi apatisme.
9.
Model Beuchamp
Sesuai dengan namanya, model ini diformulasikan oleh
GA.Beuchamp, yaitu mengemukakan lima lanhkah penting dalam pengambilan
keputusan pengembangan kurikulum, yaitu sebagai berikut.
a. Menentukan
arena pengembangan kurikulum yang dilakukan, yaitu berupa kelas, sekolah,
system persekolahan regional atau nasional.
b. Memilih
dan menetapkan pihak-pihak yang akan terlibat dalam proses pengembangan
kurikulum. Dalam hal ini, pengembangan kurikulum dapat melibatkan para ahli
kurikulum, kelompok professional, penyuluh pendidikan dan masyarakat.
c. Menetapkan
prosedur yang akan ditempuh. Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah
mengorganisasikan dan menentukan perencanaan kurikulum yang meliputi penentuan
tujuan, materi dan kegiatan belajar, serta evaluasinya. Keseluruhan prosedur
itu selanjutnya dilaksanakan dalam lima langkah, yaitu:
(1) Membentuk tim pengembang
kurikulum
(2) melakukan penilaian terhadap
kurikulum yang sedang berjalan
(3) Melakukan studi atau penjajagan
tentang penentuan kurikulum baru
(4) Merumuskan kriteria alternatif
pengembangan kurikulum
(5) Menyusun dan menulis kurikulum
yang dikehendaki
d. Pelaksanaan
kurikulum secara sistematis di sekolah. Pada tahap ini segala sesuatunya harus dipersiapkan secara matang terutama
yang dapat mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
efektifitas penggunaan kurikulum.
e. Melakukan
penilaian. Secara menyeluruh evaluasi meliputi: evaluasi terhadap pelaksanaan
kurikulum oleh guru-guru di sekolah, evaluasi terhadap desain kurikulum,
evaluasi terhadap peserta didik, dan evaluasi terhadap seluruh sistem
pengembangan kurikulum.
10.
Model Roger’s
Terdapat empat langkah pengembangan kurikulummodel
Rogers. Pertama, pemilihan target dari sistem pendidikan, yang menjadi pegangan
ialah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan
yang intensif. Langkah kedua dalam pengembangan kurikulum model Rogers adalah
partisipasi guru dalam kelompok yang intensif. Keikutsertaan guru dalam
kelompok tersebut sebaiknya bersifat sukarela. Langkah ketiga, pengembangan
pengalaman kelompok yang intensif untik kegiatan satu kelas atau unit
pelajaran. Selama lima hari penuh peserta didik ikut serta dalam kegiatan
kelompok, denagn fasilitator para guru atau administrator atau fasilitator dari
luar. Langkah keempat, partisipasi orangtua dalam kegiatan kelompok. Kegiatan
ini dapat dikoodinasikan oleh komite sekolah masing-masing. Atau mungkin ada
pengalaman kegiatan kelompok yang bersifat campuran, kegiatan tersebut
merupakan kulminasi dari semua kegiatan diatas. Metode yang diutamakan Roger
adalah sensitivity training, encounter
group, dan training Group (T Group), karena yang lebih penting adalah
aktivitas dan interaksi tidak mementingkan formalitas, rancangan tertulis,
data, dan sebagainya.
11.
Model Action-Research yang Sistematis
Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa
pengembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal ini mencakup suatu
proses yang melibatkan kepribadian orangtua, peserta didik, guru, struktur
sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan kelompok dari sekolah dan masyarakat.
Sesuai dengan asumsi tersebut model ini menekankan pada tiga hal itu: hubungan
insani, sekolah dan organisasi masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan
profesional. Menurut model ini, para pengembang kurikulum harus memasukan
pandangan dan harapan-harapan masyarakat, dan salah satu cara untuk mencapai
hal itu adalah dengan prosedur action research. Langkah pertama, mengadakan
kajian secara seksama tentang masalah-masalah kurikulum, berupa pengumpulan
data yang bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasi fakror-faktor, kekuatan dan
kondisi yang mempengaruhi masalah tersebut. Langkah kedua, implementasi dari
keputusan yang diambil dalam tindakan pertama. Tindakan ini segera diikuti oleh
kegiatan pengumpulan data dan fakta-fakta. Pengumpulan data ini mempunyai
beberapa fungsi: (1) menyiapkan data bagi evalusi tindakan, (2) sebagi bahan
pemahaman tentang maslah yang dihadapi, (3) sebagai bahan umtuk menilai kembali
dan mengadakan modifikasi, (4) sebagi bahan untuk menentukan tindakan yang lebih
lanjut.
12.
Model Teknologis
Perkembangan
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efisiensidan
efektivitas dalam bisnis, juga mempengaruhi perkembangan model-model kurikulum.
Tumbuh kecenderungan- kecenderungan baru yang berdasarkan atas hal itu, di
antaranya sebagai berikut.
a. The
Behavioral Analysis Model, menekankan penguasaan perilaku atau kemampuan. Suatu
perilaku/kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi perilaku-perilaku sederhana
yang tersusun secara hierarkis.
b. The
System Analysis Model berasal dari gerakan efesiensi bisnis. Langkah pertama
dari model ini adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang harus
dikuasai peserta didik. Langkah kedua adalah menyusun instrumen untuk menilai
ketercapaian hasil-hasil belajar tersebut. Langkah ketiga, mengidentifikasi
tahap-tahap ketercapaian hasil serta perkiraan biaya yang diperlukan. Langkah
keempat, membandingkan biaya dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.
c. The
Computer-Rased Model, suatu model pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan
komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi seluruh unit-unit
kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki rumusan tentang hasil-hasil yang
diharapkan. Kepada peserta didik dan guru-guru diminta untuk melengkapi
pertanyaan tentang unit-unit kurikulum dan hasil-hasil yang diharapkan. Kepada
peserta didik dan guru-guru diminta untuk melengkapi pertanyaan tentang
unit-unit unit-unit kurikulum tersebut. Setelah diadakan pengolahan disesuaikan
dengan kemampuan dan hasil-hasil belajar yang dicapai peserta didik maka data
tersebut disimpan dalam komputer.
13.
Model Laurie Brady
Model pengembangan kurikulum yang dikemukakan oleh
Laurie Brady (1978) ini lebih berorientasi pada pengembangan kurikulum dalam
lingkup sekolah sebagaimana dikenal dengan sebutan School-Based currikulum
Development (SBCD). Pengembangan kurikulum berbasis sekolah ini, pada dasarnya
telah diterapkan di negara Australia semenjak tahun 1970-an dengan melibatkan
beberapa hal yaitu: (a) partisipasi guru untuk menghubungkan pengembangan
kurikulum dengan implementasi; (b) partisipasi seluruh atau sebagian staf
sekolah; (c) serangkaian aktivitas termasuk didalamnya pemilihan berbagai
alternatif kurikulum yang ada, adaptasi dalam melakukan modifikasi kurikulum
yang sudah ada, dan perancangan kurikulum yang baru; (d) perpindahan tanggung
jawab daripada dipersepsikan sebagai pemisahan tanggung jawab dari pemerintah.
Pengembangan
kurikulum berbasis sekolah, pada tahap pertama perlu melakukan analisis situasi
sekolah dengan mempertimbangkan beberapa hal di antaranya (a) struktur
pendukung: ketentuan administratif di dalam pelaksanaannya baik di dalam maupun
diluar sekolah; (b) sturktur pengambilan keputusan: ketentuan administratif di
dalam sekolah untuk mengoptimalkan partisipasi staf; (c) pergerakan
akuntabilitas: dampak dari kurikulum untuk semakin meningkatkan akuntabilitas
sekolah; (d) perubahan persepsi atas peran guru, kemampuan para staf di dalam
menyesuaikan peran barunya sebagai pengembang kurikulum daripada hanya sekedar
pelaksana kurikulum; (e) sistem promosi, melalui transfer dan promosi, dan (f)
seorang ahli yang memiliki pengalaman dan pengetahuan di dalam pengembangan
kurikulum.
Dalam
mengembangkan kurikulum berbasis sekolah, salah satu tahapannya adalah
melakukan analisis situasi. Ada beberapa faktor utama yang akan terlibat di
dalam analisis situasi. Analisis situasi ini dilakukan sebagai tahap awal pengembangan
kurikulum, dan dapat berlangsung selama pengembangan kurikulum. Faktor-faktor
yang harus diperhatikan dalam melakukan analisis situasi terbagi menjadi faktor
eksternal yang memperngaruhi sekolah dan faktor internal yang berada di dalam
sekolah itu sendiri.
a. Analisis
faktor eksternal
1) Ekspektasi
perubahan budaya dan sosial: perubahan sosial nasional budaya dan sosial,
termasuk didalamnya perubahan harapan para orang tua atas keberhasilan peserta
didik;
2) Kebijakan
sistem pendidikan; berkaitan dengan peraturan yang akan berdampak pada
penerapan pengembangan kurikulum berbasis sekolah serta pengaruhnya pada
pengujian dan penelitian;
3) Perubahan
mata materi pelajaran: perubahan isi dan metode sebagai pengaruh dari sosial
budaya atau perubahan pendidikan;
4) Sistem
penunjang kontribusi guru yang potensial: ketersediaan dukungan baik secara
institusi maupun secara individual.
5) Sumberdaya:
aliran sumberdaya yang masuk sekolah.
b. Analisis
faktor internal
1)
Peserta didik: karakteristik, kemampuan
dan tahap perkembangan peserta didik;
2)
Guru: kekuatan dan keterbatasan guru,
minat, harapan, perilaku guru, gaya mengajar, penilaian diri dan perannya di
dalam pengembangan kurikulum;
3)
Etos sekolah: suasana dan klimat
sekolah, yang secara fungsional didukung oleh kepala sekolah;
4)
Sumberdaya material: sarana prasarana,
peralatan dan fasilitas, kebijakan yang berhubungan dengan hal itu;
5)
Penerimaan dan pemecahan masalah:
ketidakpuasan terhadap kurikulum yang sudah ada.
Sekolah merupakan organisasi yang kompleks, bahkan
mungkin saja pada situasi yang sama, penilaian yang terjadi dapat berbeda-beda.
Kenyataan ini merupakan justifikasi bagi analisis situasi ketika pengembangan
kurikulum dilakukan. Di dalam pengembangan kurikulum, pengetahuan dan kesadaran
ini tidak hanya pada saat sebelum dilakukannya penengembangan kurikulum, tapi
juga selama proses pengembangan kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan berkenaan
dengan dasar-dasar belajar, dasar-dasar sosial, metode mengajar, keluaran yang
diinginkan, dan dasar-dasar pebelajar harusnya terjawab pada setiap tahapan
pengembanngan kurikulum.
Proses
pengembangan kurikulum melibatkan para guru di dalam memutuskan pandangan atas
pengetahuan secara filosofi, interpretasi alamiah masyarakat, dan pemilihan
pengaruh kurikulum berdasarkan prinsip psikologis yang relevan. Filosofi
menekankan pada pemaknaan dari konsep yang biasanya menjawab pertanyaan “apa
artinya?” atau “bagaimana kita tahu?”. Filosofi berperan di dalam perencanaan
kurikulum melalui analisis alamiah pengetahuan (epistimologi), nilai dari pengetahuan
(ethics) dan alamiah dari kualitas mental (filsafat pikiran). Secara spesifik,
kontribusi ketiga hal tersebut sangatlah luas termasuk didalam penetapan
tujuan, penetapan prioritas objektif, penjelasan kegiatan kurikulum,
pengirganisasian kurikulum, dan pendefinisian “good life” serta fungsi sekolah untuk mencapai good life tersebut.
Psikologi
menjelaskan dan memperkirakan perilaku manusia, dan berkontribusi di dalam
perencanaan kurikulum bagi para guru dalam hal alamiah belajar para peserta
didik, pengkondisian belajar dan nilai metode mengajar serta efektivitas
belajar mengajar.
Sosiologi
menjelaskan analisis pengorganisasian hubungan antar manusia, dan memberikan
kontribusi dalam perencanaan kurikulum dalam hal memprediksikan pertunbuhan
sosial, dengan menyediakan informasi berkaitan dengan latar belakang sosial
peserta didik, evaluasi yang realistik atas peran guru dan sekolah di dalam
suatu perubahan sosial, dan meningkatkan fleksibilitas guru, toleransi dan
kesadaran atas metode mendapatkan pengetahuan. Pertimbangan sistematik atas
kontribusi filsafat, psikologi, dan sosiologi seharusnya dapat semakin
menjelaskan apa yang perlu dilakukan dalam meningkatkan kualitas pengembangan
kurikulum.
Terkait dengan
hasil analisis konteks dan landasan pendidikan yang harus menjadi
perhatian guru dalam pengembangan
kurikulum, Laurie Brady (1978) memberikan gambaran proses pengembangan
kurikulum yang memperkenalkan dua model pengembangan kurikulum, yaitu model
objektif dan model interaksi. Dalam memberikan gambaran tentang proses
pengembangan kurikulum, Laurie Badry memberikan pemahaman bahwa model
pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai suatu cara di dalam menunjukkan
hubungan antara komponen-komponen utama kurikulum. Komponen-komponen utama
kurikulum yang dimaksudkan adalah tujuan, isi, metode dan evaluasi. Berikut ini
dikemukakan kedua model proses pengembangan kurikulum.
1) Model
Objektif
Model objektif pengembangan kurikulum mengacu pada
suatu metode dimana pengembang kurikulumnya meliputi tahapan berikut: (a) mulai
dengan merumuskan tujuan kurikulum; (b) berdasarkan poada tujuan yang sudah
dirumuskan, memilih isi kurikulum dan penyampaiannya, serta (c) mengikuti
tahapan sesuai dengan komponen-komponen kurikulum sebagai suatu urutan.
2) Model
Interaktif
Model interaktif pengembangan kurikulum mengacu pada
suatu metode dimana pengembang kurikulumnya meliputi tahapan: (a) mulai dari
komponen kurikulum mana saja; (b) mengikuti tahapan apa saja dari komponen
kurikulum tersebut; (c) menginterpretasi komponen kurikulum sebagai interaktif
dan progress yang dapat dimodifikasi; (d) dimungkinkan urutan perencanaan
kurikulum berubah agar saling keterkaitan; (e) bereaksi terhadap situasi
belajar untuk membatasi urutan yang perlu diikuti.
Model objektif dan model interaksi mewakili dua
pendekatan utama di dalam perencanaan kurikulum yang mana masih dapat
dilengkapi lebih lanjut. Pada implementasinya, tidak ada satupun model
pengembangan kurikulum yang menjadi satu-satunya model tetapi perlu disesuaikan
dengan situasi dan kondisi dari masing-masing sekolahnya. Hal penting dari
suatu model pengembangan kurikulum
adalah seberapa tinggi tingkat efektivitas dan konsistensi dari setiap
komponen kurikulum yang merupakan dasar pengembangan kurikulum yang dilakukan
tersebut. Oleh sebab itu batasan pendayagunaan keempat komponen kurikulum di
dalam pengembangan kurikulum dikembalikan kepada pengembang kurikulumnya
sendiri atau kepada masing-masing sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Halimah, Lely (2010). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Rizqi
Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar